Urgensinya Diberlakukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif Dalam Proses Peradilan di Indonesia
16Dec
URGENSINYA DIBERLAKUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2024 TENTANG PEDOMAN MENGADILI PERKARA PIDANA BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PROSES PERADILAN DI INDONESIA
Oleh : Madela Natalia Sai Reeve, S.H., M.H.
Hakim Pengadilan Negeri Purwakarta
Sistem Hukum Pidana Indonesia dalam perkembangannya saat ini mengalami pembaruan. Praktek hukum pidana yang semula fokus menekankan keadilan kepada pembalasan (keadilan retributif) yang tertuju pada efek jera agar pelaku berubah, kini mengarah kepada keadilan restoratif yaitu penyelesaian dengan pendekatan yang fokus kepada keadilan yang seimbang bagi pelaku tindak pidana dan korban itu sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan perundingan dengan melibatkan pelaku, korban dan pihak terkait (masyarakat terdampak) yang dibantu oleh seorang mediator/fasilitator untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan seimbang dengan menekankan kepada pemulihan dan bukan pembalasan. Bentuk penyelesaian ini berorientasi padakepentingan pemulihan hak-hak korban, rasa tanggung jawab Terdakwa untuk memulihkan kondisi korban dan pemulihan hubungan semula antara korban dengan Terdakwa serta masyarakat yang rusak akibat kriminal/tindak pidana. Perbaikan dan perdamaian lebih didahulukan dibandingkan dengan hukuman semata.
Untuk itu konsep Restorative Justice ini telah dijalankan dengan telah adanya kebijakan berupa aturan dari Kepolisan seperti Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan Peraturan Kepala Kepolisan Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang didalam Pasal 1 angka 27 dan Pasal 12 menjabarkan tentang mekanisme penyelesaian perkara dengan menggunakan keadilan restoratif, sementara Kejaksaan menerbitkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sedangkan Mahkamah Agung juga menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/Ps.0012/2020 Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Walaupun Surat Keputusan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum tersebut ditangguhkan pada tanggal 15 Nopember 2021 akan tetapi Mahkamah Agung berjanji akan segera menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Restoratif Justice.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Agung memandang terdapat kekosongan hukum yang sering menimbulkan hambatan dalam Pratik, karena tidak ada pedoman yang rinci mengenai Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif di Pengadilan.
Untuk mengisi kekosongan hukum acara perihal pedoman para hakim dalam mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif, maka Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Adapun Kewenangan Mahkamah Agung dalam menerbitkan aturan guna mengisi kekosongan hukum dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Salah satu fungsi Mahkamah Agung sebagai Lembaga yudikatif adalah fungsi mengatur, yaitu Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan.
Fungsi mengatur Mahkamah Agung juga dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini.” Selain itu, kewenangan tersebut juga dikukuhkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 yang terdiri dari empat bab dan 22 pasal ini, diterbitkan selain untuk mengisi kekosongan hukum sebagaimana dijelaskan di atas, juga untuk menjaga kepastian hukum dan mengatur tentang jenis perkara, syarat, dan tata cara penerapannya pada Tingkat persidangan terhadap putusan yang didalamnya termuat pendekatan keadilan restoratif;
Bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 yang dimaksud Keadilan Restoratif adalah Pendekatan dalam penganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan /atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.
Adapun tujuan mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif adalah untuk memulihkan korban tindak pidana, Memulihkan hubungan antara Terdakwa, Korban, dan/atau Masyarakat, Menganjurkan pertanggungjawaban Terdakwa, dan Menghindarkan setiap orang, khususnya Anak dari perampasan kemerdekaan. Dan yang harus dipahami perihal penerapan prinsip keadilan restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana;
Untuk menjadi Pedoman Hakim dalam mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 yaitu Hakim harus mengetahui salah satu syarat yang memenuhi sebagaimana di atur dalam Pasal 6 ayat (1); (a) tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat; (b) Tindak pidana merupakan delik aduan; (c) ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dalam salah satu dakwaan; (d) tindak pidana dengan pelaku anak yang diversinya tidak berhasil; atau (e) tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan. Disamping persyaratan tersebut, Pasal 6 ayat (2) turut mengatur dalam keadaan tertentu hakim tidak berwenang untuk menerapkan pedoman keadilan restoratif apabila : (i) korban atau terdakwa menolak perdamaian; (ii) terdapat relasi kuasa; (iii) pengulangan tindak pidana sejenis kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, apabila hakim dalam memeriksa perkara menemukan satu dari ketiga ketentuan tersebut, maka mengadili dengan pendekatan restoratif tidak dapat diterapkan;
Dan sebagian kalangan menganggap keadilan restoratif hanya akan menguntungkan para pelaku yang mampu secara finansial tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan terhadap korban tindak pidana namun hal tersebut terbantahkan dengan keberlakuan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Perma 1/2024 yang menentukan bahwa “Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal : korban atau terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian, terdapat Relasi Kuasa; atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.
Misalnya terdapat tindak pidana penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan yang memenuhi syarat keadilan restoratif namun penganiayaan tersebut dilakukan oleh seorang manajer kepada staf pada suatu perusahaan sehingga terjadi relasi kuasa dimana kedudukan manajer lebih superior yang berpotensi mengancam keberlanjutan karir korban diperusahaan. Pada kondisi yang demikian ini, maka hakim mesti memastikan apakah korban bersedia melakukan upaya perdamaian atas dasar penerimaan/kehendak sendiri atau justru dilakukan atas dasar kekhawatiran masa depannya pada perusahaan tersebut.
Adapun tata cara mengadili perkara pidana berdasarkan Perma No 1 Tahun 2024 adalah pada persidangan pertama dilaksanakan, Hakim dapat secara langsung bisa mengalihkan pemeriksaan ke mekanisme keadilan restoratif apabila terdakwa membenarkan dakwaan penuntut umum, tidak mengajukan nota keberatan, dan membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan kepadanya. Selain dari pada itu, hakim juga berwenang memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara terdakwa dengan korban apabila perdamaian tersebut sudah tercapai sebelum persidangan dimulai. Dalam persidangan, Hakim juga bisa mengupayakan kesepakatan baru yang disanggupi oleh korban dan Terdakwa jika dalam hal terdakwa tidak sanggup melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat dan korban bersedia membuat kesepakatan baru dengan terdakwa yang ketentuannya pada pasal 12. Bahkan bila korban belum pernah melakukan perdamaian dengan Terdakwa, Hakim mengajurkan kepada Terdakwa dan korban untuk membuat kesepakatan damai (Pasal 15 ayat (1). Pemeriksaan ini menunjukkan adanya ruang dialog dan musyawarah antar pihak untuk bermufakat mencapai kesepakatan dalam menyelesaiakan perkara tindak pidana.
Dalam Pasal 13 menyatakan Hakim memastikan perdamaian yang dibuat itu dicapai tanpa adanya kesesatan, paksaan, atau penipuan dari salah satu pihak. Terhadap delik aduan, penarikan pengaduan dirumuskan dalam perjanjian perdamaian secara hukum telah dianggap terlaksana saat perjanjian tersebut ditandatangani di depan Hakim sehingga atas tersebut, memiliki konsekuensi dan dampak hakim dapat menyatakan penuntutan gugur atau tidak dapat diterima. Kesepakatan perdamaian antara korban dengan terdakwa, atau kesediaan terdakwa bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban, dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman atau menjadi pertimbangan untuk menjadikan pidana bersyarat atau pengawasan sesuai peraturan perundang-undangan.
Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang dikeluarkan pada 7 Mei 2024 merupakan merupakan terobosan penting dalam proses peradilan di Indonesia. Penyelesaian perkara dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice menjadi sebuah jalan keluar yang bijak dan tepat dalam memberikan rasa keadilan pada terdakwa, korban dan pihak lainnya. Dengan Perma Nomor 1 Tahun 2024, penerapan asas Ultimum Remedium (hukum pidana sebagai upaya terakhir) dalam praktik pemidanaan menjadi pilihan terakhir setelah mekanisme upaya lainnya untuk penyelesaian telah dicoba dan terbukti tidak efektif. Hukuman pemenjaraan tidak didahulukan, tapi upaya musyawarah dengan asas mufakat melalui mediasi penal antar pihak untuk mencari solusi yang adil dan seimbang menjadi pilihan yang tepat.
Disamping itu, Keadilan Restoratif bisa menjadi solusi yang tepat juga terhadap betapa padatnya kapasitas warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan akibat dampat dari sistem pemidanaan yang berorientasi pada pemenjaraan. Kondisi tersebut tentunya membuat negara harus mengeluarkan anggaran yang banyak untuk membiayai kehidupan para narapidana, di tambah lagi Over capacity rutan dan lapas malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masiv-nya jumlah tahanan narapidana.
Dengan terbitnya pedoman baru ini diharapkan dapat mengikuti tumbuhnya permasalahan & hukum yg terus berkembang di masyarakat, serta memberikan arah sinkronisasi para Aparat Penegak Hukum dalam menjalankan tugas sehari-hari demi tercapainya keadilan yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan.
Sejatinya, prinsip penerapan Keadilan Restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana dengan bertujuan menyelesaikan hukum dalam menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana. Tak hanya itu, tujuan Restorative Justice pula mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi korban maupun pelaku. Namun prinsip utama dalam penerapan keadilan restoratif, berupa penegakan hukum yang kerap mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula serta mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.Sebagaimana tujuan pemidanaan dalam pasal 51 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KHUP yang salah satunya adalah menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.
Bentuk keseriusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menerapkan Restoratif Justice sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024, dengan melakukan sosialisasi yaitu mengadakan kegiatan penyelengaraan Bimbingan Teknis Penanganan Perkara Berbasis Keadilan Restoratif (Restorative Justice) di Lingkungan Peradilan Umum dengan melibatkan Para Hakim se-wilayah Jawa Barat, Akademisi, Jaksa dan Kepolisian dalam rangka untuk menyamakan persepsi dalam menyelesaikan perkara pidana dalam perspektif Restorative Justice pada tanggal 13 – 15 Nopember 2024 bertempat di Hotel Aryaduta Bandung;