Persidangan Yang Peka Terhadap Korban Sebagai Salah Satu Upaya Pengungkapan Sindikat Perdagangan Orang
27Aug
Persidangan Yang Peka Terhadap Korban Sebagai Salah Satu Upaya Pengungkapan Sindikat Perdagangan Orang
Oleh:
Dwi Novita Purbasari dan Novritsar Hasintongan Pakpahan
Memiliki pekerjaan untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sudah menjadi harapan dan impian semua orang, terlebih apabila dapat bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji yang lebih besar serta pengalaman hidup di luar negeri yang lebih mewah atau lebih baik daripada di dalam negeri. Namun, terkadang apa yang terdengar baik terkadang justru tidak nyata atau too good to be true. Salah satu contoh nyata yang belum lama terjadi adalah praktik eksploitasi kerja di luar negeri berkedok magang di Jerman dengan janji akan memperoleh pekerjaan di Jerman padahal sesampai di Jerman para magang akan bekerja secara cuma-cuma dan tidak mendapatkan pekerjaan yang diidamkan.
Contoh kasus tersebut walaupun secara istilah dikenal dengan eksploitasi kerja, namun sebenarnya memiliki karakteristik tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) merupakan setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana seperti perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang.
Perdagangan orang dalam praktik di Indonesia lebih difamiliarkan dengan perkara perdagangan gelap seksual atau bahkan tenaga kerja imigran gelap, padahal eksploitasi kerja terhadap para magang juga termasuk bentuk TPPO. Pokok dari TPPO adalah memanfaatkan orang lain yang sedang berada dalam keadaan tidak berdaya baik secara paksaan fisik maupun paksaan kondisi finansial pribadi korban. Kekhasan dari TPPO juga mencakup bahwa korban TPPO cenderung menyadari dan memberikan persetujuan (consent) untuk “diperdagangkan secara sukarela” sehingga pemeriksaan perkara TPPO harus mengesampingkan persetujuan dari korban.
Adanya kasus TPPO dengan modus magang di Jerman yang melibatkan Universitas dan Mahasiswa sebagai korban menunjukkan bahwa sesungguhnya siapapun dapat menjadi korban TPPO, apapun jenis kelaminnya dan setinggi apapun pendidikannya seseorang dapat menjadi korban TPPO mengingat semakin beragamnya modus TPPO yang saat ini tidak hanya menjaring kaum menengah kebawah.
Bagi Aparatur Penegak Hukum, perlu ada pendekatan berbeda yang harus dilakukan untuk dapat memaksimalkan penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang. Dalam kegiatan ASEAN Judicial Knowledge Exchange (JKE) on Victim-Sensitive Adjudication of Trafficking in Persons Cases yang diadakan oleh Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Indonesia, Philippines Judicial Academy dan ASEAN-Australia Counter Trafficking (ASEAN ACT), penanganan perkara TPPO dapat mencapai keadilan dan mengungkap sindikat perdagangan orang apabila dilakukan melalui pendekatan persidangan yang peka terhadap korban.
Pendekatan penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang yang peka pada korban dapat ditandai melalui 8 (delapan) indikator, yaitu memastikan keselamatan & privasi, cara pengajuan alat bukti & proses persidangan, cara interaksi Aparat Penegak Hukum, informasi & layanan, pemulihan fisik, psikologis & sosial korban, layanan medis & forensik, layanan khusus bagi anak, layanan khusus bagi penyandang disabilitas.
8 (delapan) indikator tersebut sedikit banyak berpengaruh dalam penilaian penanganan perkara TPPO secara global. Melihat dari Laporan Tahunan Perdagangan Manusia (TIPs) yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika menempatkan Indonesia pada Tier 2 pada tahun 2023. Berada pada Tier 2, berarti Indonesia menjadi salah satu dari negara-negara yang pemerintahnya belum sepenuhnya memenuhi standar minimum dalam perlindungan korban perdagangan orang, namun melakukan upaya signifikan untuk menyesuaikan diri dengan standar tersebut.
Hakim memainkan peran penting dalam penanganan perkara perdagangan orang, menentukan fakta-fakta suatu kasus, menerapkan undang-undang perdagangan orang dan memastikan akses terhadap keadilan bagi korban perdagangan orang. Tanpa pendekatan penanganan perkara TPPO yang peka terhadap korban, proses penegakan hukum menjadi tidak optimal oleh karena tidak diperolehnya kebenaran secara lengkap dan sebenar-benarnya.
Berdasarkan pengalaman praktik Penulis dan beberapa hakim Indonesia yang mengikuti pelatihan JKE on Victim-Sensitive Adjudication of Trafficking in Persons Cases terdapat beberapa kendala dalam penyelenggaraan persidangan yang peka terhadap korban, yaitu :
Pertama, ketidakmampuan hakim dalam melaksanakan persidangan yang peka terhadap korban dan ketidaktelitian hakim dalam mengidentifikasi perbuatan TPPO. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) tidak mensyaratkan hakim bersertifikasi secara khusus untuk menangani perkara TPPO. Konsekuensi tidak adanya sertifikasi hakim dalam perkara TPPO menyebabkan belum adanya standarisasi pendekatan penanganan perkara TPPO yang berbeda dengan perkara pidana anak. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa Aparatur Penegak Hukum termasuk hakim wajib mementingkan kepentingan terbaik bagi anak dalam proses penegakan hukum, sedangkan UU TPPO tidak mengatur ketentuan tersebut bagi korban TPPO. Akibatnya, pembuktian perkara TPPO di persidangan menjadi sulit karena pada umumnya korban sulit mengungkap kebenaran akibat ketakutan korban terhadap keselamatan dirinya apabila mengungkap pelaku TPPO yang umumnya merupakan sindikat/jaringan besar.
Hakim, dalam menangani perkara perdagangan orang yang peka terhadap korban dapat mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang mana pada PERMA tersebut telah mengandung prinsip kesetaraan gender dan do no harm principle.
Selain itu, hakim juga perlu memiliki pemahaman yang mendalam mengenai praktik TPPO terkini, mengingat semakin canggih dan kompleksnya modus yang digunakan para pelaku TPPO untuk mengaburkan perbuatannya. Pemahaman hakim yang mendalam terkait TPPO dapat menghindari kesalahan dalam penemuan fakta-fakta hukum di persidangan. Peningkatan kapasitas hakim dalam menangani perkara TPPO dapat diperoleh dengan dilakukan pelatihan berkelanjutan bagi hakim sehingga pemerataan kemampuan hakim dalam memeriksa perkara TPPO dalam tercapai.
Indonesia dapat mengadopsi pengembangan praktik penanganan perkara TPPO di Filipina yang berhasil meraih posisi di Tier 1 pada tahun 2016 dan 2017. The Judicial Academy Philippines sebagai institusi yang menyelenggarakan pelatihan bagi para hakim, personel pengadilan, pengacara dan calon pejabat peradilan di Filipina telah meningkatkan kapasitas hakim secara berkelanjutan dilakukan sejak tahun 2013 dengan menyelenggarakan pelatihan peningkatan dalam penanganan perkara perdagangan orang untuk aparatur penegak hukum secara domestik maupun lintas negara.
Kedua, kurangnya pemenuhan kebutuhan keamanan dan kerahasiaan identitas saksi dan korban TPPO selama proses peradilan pidana. Dalam Pasal 39 UU TPPO telah disebutkan bahwa “Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban Anak dilakukan dalam sidang tertutup”. Lebih lanjut, Pasal 44 UU TPPO disebutkan bahwa “Saksi dan/atau korban tindak perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas”. Dari bunyi pasal 44 tersebut, maka saksi atau korban TPPO sesungguhnya berhak meminta agar persidangannya dilakukan secara tertutup atau dengan kata lain persidangan tertutup tidak hanya dilakukan terhadap saksi dan/korban anak.
Ketiga, pemenuhan kebutuhan saksi dan korban selama proses persidangan yang salah satunya adalah pendampingan. Proses peradilan pidana yang meski telah dibatasi waktunya oleh Undang-undang, namun akan terasa panjang dan melelahkan serta berpotensi mengakibatkan trauma yang berkepanjangan bagi korban TPPO. Hakim haruslah peka terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan bagi korban selama proses persidangan yang salah satunya adalah pendampingan. Saksi dan/atau korban TPPO berhak mendapatkan pendampingan advokat dan atau pendamping lainnya. Dalam hal saksi dan/atau korban tidak memiliki kemampuan secara finansial dalam menghadirkan advokat atau pendamping, Majelis Hakim akan menunjuk advokat atau pendamping untuk mendampingi saksi dan/atau korban selama persidangan. Akan tetapi, seringkali ditemukan dalam praktik bahwa advokat atau pendamping yang ditunjuk hanya duduk “mendampingi” saja dan bersifat pasif. Pendamping seharusnya dapat aktif melihat situasi saksi dan/atau korban, misalnya apabila saksi dan/atau korban sudah menunjukkan tanda-tanda tertekan, maka seorang pendamping dapat meminta kepada hakim untuk menghentikan pemeriksaan hingga keadaan psikisnya kembali normal.
Hal tersebut berbeda dengan negara filipina yang dalam sistem hukumnya telah memberikan pendampingan psikologi oleh seorang psikolog. Penjaminan pemenuhan kebutuhan saksi dan/atau korban dengan ahlinya tentunya dapat membantu kelancaran dalam proses persidangan dalam menemukan kebenaran materil;
Keempat, pemenuhan hak restitusi bagi korban TPPO. UU TPPO telah menjamin adanya hak restitusi bagi korban TPPO dan pelaksanaan tentang tata cara permohonan dan pelaksana restitusi tersebut juga telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Hukum. Namun, dalam praktek yang ditemui Penulis pemenuhan hak restitusi tersebut masih ditemukan kendala yang berasal dari korban dan/atau dari aparat penegak hukum. Masih banyak para korban TPPO tidak mengetahui haknya untuk mendapatkan restitusi, sedangkan hakim tidak boleh menjatuhkan restitusi tanpa adanya permohonan dari korban. Dalam kondisi ini diperlukan adanya peran aktif aparatur penegak hukum dalam memberitahukan hak korban akan restitusi.
Pembuktian dalam permohonan restitusi juga bukanlah perkara yang sederhana. Menyikapi hal tersebut, Mahkamah Agung dengan kewenangannya mengisi kekosongan hukum menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana. Dengan adanya Perma tersebut, terlihat ada peningkatan perkara permohonan restitusi yaitu sekira 234 perkara yang mendukung tercapainya pemenuhan kebutuhan korban TPPO maupun perkara lain.
Menyimpulkan dari 4 (empat) kendala tersebut, penyelenggaraan persidangan yang peka terhadap korban TPPO dapat mendukung perolehan segenap kebenaran perbuatan TPPO untuk mewujudkan tujuan dari hukum TPPO itu sendiri yaitu pemberian efek jera pada pelaku TPPO, memulihkan korban TPPO, dan mencegah terlaksananya perbuatan TPPO. Pemahaman dan penguasaan karakteristik TPPO diharapkan dapat mendukung pencegahan terjadinya modus baru TPPO.