logo pengadilan negeri purwakarta website ramah difable

Pembuktian Tindak Pidana Terorisme

03Apr

Ditulis oleh adminpn

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA TERORISME

Oleh : Karolina Selfia Br Sitepu, S.H., M.H.

 

Terorisme menjadi permasalahan dan ancaman di Indonesia. Dalam dua decade terkahir, berbagai serangan teror fisik maupun propaganda dilakukan oleh jaringan teror dalam negeri dengan ideologi yang mengatasnamakan agama, seperti seperti Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Anshar Daulah (JAD), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Momentum awal yang membuat terorisme menjadi perhatian serius di Indonesia adalah saat peristiwa Bom Bali I. Aksi terorisme yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah itu menewaskan 202 orang baik warga negara Indonesia maupun asing. Pemerintah kemudian merespons ancaman terorisme tersebut melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Seiring waktu, tindak pidana teroris di Indonesia juga terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Modus operandi serangan teror yang mulanya bersifat terstruktur menjadi tidak terstruktur, misalnya dalam serangan lone wolf. Jaringan teror juga tidak hanya melakukan serangan fisik, namun juga melakukan propaganda dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi, misalnya melalui internet dan media sosial.

Perkembangan pergerakan jaringan terorisme tersebut tentunya harus mampu diadaptasi negara. Namun, Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 sebagai instrumen tutama penanggulangan terorisme dinilai belum mampu memenuhi perkembangan yang terjadi dalam terorisme, sehingga revisi Undang-Undang tersebut perlu dilakukan. Pada 2018, aksi terorisme secara beruntun kembali terjadi di Indonesia. Pada 8-10 Mei 2018, terjadi kerusuhan dan penyanderaan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Markas Korps (Mako) Brimob Kelapa Dua, Depok oleh narapidana terorisme (napiter). Peristiwa tersebut mengakibatkan lima personel kepolisian meninggal dunia dan satu napiter meninggal (Liputan6.com, 2018). Kemudian, insiden penyanderaan di Mako Brimob diikuti aksi terorisme oleh anggota JAD di Surabaya pada 13 Mei 2018. Dalam insiden tersebut, tiga gereja diserang bom bunuh diri oleh satu keluarga anggota JAD dan mengakibatkan 13 orang tewas serta 43 lainnya mengalami luka-luka (Tirto.id, 2018). Tidak berhenti di situ, aksi tersebut kemudian diikuti oleh serangan dua remaja putri bernama Dita dan Siska secara lone wolf di Mako Brimob. Dengan momentum tersebut akhirnya, UU terorisme pun direvisi menjadi Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

Definisi Tindak Pidana Terorisme

Dalam hal definisi terorisme, Indonesia berpegang pada Undang- undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 1 undang-undang tersebut berbunyi :

1) Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018;

2) Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan

Pembuktian Tindak Pidana Terorisme;

Pembuktian dalam tindak pidana terorisme berlaku asas lex specialis derogat legi generalis. Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Meski sudah ada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembuktian tindak pidana terorisme juga secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 menyatakan:

(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen;

(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri;

(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari;

(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri setempat memerintahkan melaksanakan penyidikan.

Artinya, untuk pidana terorisme, jika terdapat informasi intelijen yang cukup, maka dapat segera dilakukan penindakan. Meski demikian, informasi tersebut tetap harus dikembangkan sehingga dapat menjadi alat bukti yang sah digunakan dalam proses peradilan.

Alat Bukti dalam Tindak Pidana Terorisme;

Penggunaan alat bukti dalam Tindak Pidana Terorisme diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 184 (1) KUHAP menjelaskan Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa;

Pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018, alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :

a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1.  Tulisan, suara, atau gambar;
2.  Peta,rancangan,foto, atau sejenisnya;
3. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya;

Kedudukan Alat Bukti Digital dalam Pembuktian Tindak Pidana Terorisme;

Kedudukan alat bukti digital dalam pembuktian tindak pidana terorisme berkaitan erat dengan perluasan unsur dalam tindak pidana terorisme, khususnya pada pasal 13A dan pasal 12B. Pasal 13A menyatakan, setiap Orang yang memiliki hubungan dengan organisasi Terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Sedangkan pasal 13B ayat 3 menjelaskan, setiap orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun non elektronik untuk digunakan dalam pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Dengan demikian, terdapat perbedaan kebijakan mengenai kedudukan alat bukti elektronik:
1. alat bukti elektronik diakui sebagai perluasan alat bukti petunjuk
2. alat bukti elektronik diakui sebagai alat bukti yang berdiri sendiri.

Terdapat syarat jika infromasi elektronik /dokumen elektronik dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan:
1. Originalitas/keotentikan alat bukti;
2. Substansi dari alat bukti; dan
3. Kesesuaian alat bukti dengan alat bukti yang lain.

Merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 maka bukti digital harus melalui pemeriksaan laboratoris kriminalistik dan dilengkapi dengan keterangan Ahli Forensik;

Pada pelaksanaan pembuktian tindak pidana terorisme tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi informasi dan dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Proses penegakan hukum dan undang-undang dalam hal pemanfaatan teknologi sudah dimulai dan akan berjalan panjang sesuai dengan perkembangan zaman.

Demikianlah tulisan singkat tentang  Pembuktian Tindak Pidana Terorisme semoga dapat memberikan manfaat atau setidak-tidaknya pembaca dapat memperoleh gambaran secara umum tentang  Pembuktian Tindak Pidana Terorisme.

Purwakarta, 3 April 2023