logo pengadilan negeri purwakarta website ramah difable

Pedoman ASEAN Tentang Pelaksanaan Prinsip Non-Hukuman Untuk Perlindungan Korban Perdagangan Orang

25Jun 2025

Diupload oleh timmedia pada tanggal 25 June 2025, 04:15:00 PM

PEDOMAN ASEAN TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP NON-HUKUMAN UNTUK PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

Oleh : Dwi Novita Purbasari, S.H.

Hakim Pengadilan Negeri Purwakarta

 

Pedoman ASEAN Tentang Pelaksanaan Prinsip Non-Hukuman Untuk Perlindungan Korban Perdagangan Orang resmi diluncurkan pada Senin, 2 Juni 2025 di gedung Sekretariat ASEAN. Dengan dukungan dari Pemerintah Australia melalui program ASEAN-Australia Counter Trafficking (ASEAN-ACT), pedoman ini berhasil disusun setelah dilakukan riset dan diskusi praktik terbaik penyelesaian perdagangan orang pada negara anggota ASEAN.

Korban perdagangan orang kerap mengalami berbagai bentuk eksploitasi yang kompleks. Dalam sejumlah kasus, proses viktimisasi yang mereka alami justru membuat mereka terjerumus dalam kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum. Beberapa bentuk keterlibatan ini antara lain pemaksaan dalam eksploitasi seksual, keterlibatan dalam produksi atau distribusi narkotika, tindak pidana ringan, penggunaan atau kepemilikan dokumen palsu, serta pelanggaran terhadap peraturan imigrasi suatu negara. Tidak jarang, para pelaku perdagangan orang menggunakan ancaman atau kekerasan untuk memaksa korban melakukan tindakan-tindakan tersebut. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh pelaku untuk semakin mengendalikan korban. Dalam banyak kasus, para korban bahkan tidak sepenuhnya menyadari bahwa mereka telah melanggar hukum yang berlaku.

Pasal 14.7 Konvensi ASEAN Melawan Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak, menginstruksikan kepada negara pihak harus “mempertimbangkan untuk tidak mempidana atau memberikan sanksi administratif kepada korban perdagangan orang atas tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh mereka, jika tindakan tersebut secara langsung berkaitan dengan tindakan perdagangan.” Artinya, korban tidak seharusnya dipidana atas pelanggaran yang mereka lakukan akibat dari eksploitasi yang mereka alami. Penanganan tindak pidana perdagangan orang memerlukan pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) agar korban tidak menjadi korban berulang.  Akan tetapi, berdasarkan studi ASEAN-ACT tahun 2021 menunjukkan bahwa implementasi prinsip non-pemidanaan berbeda-beda. Di beberapa negara-negara anggota ASEAN (ASEAN Member State/AMS), prinsip ini bahkan belum dikenal, sehingga korban masih dipidana atas pelanggaran seperti imigrasi, prostitusi, narkoba, dan lainnya. Oleh karena itu dipandang perlu adanya pedoman regional tentang pelaksanaan prinsip non-hukuman untuk perlindungan korban perdagangan orang.

Pedoman ASEAN tentang pelaksanaan prinsip non-hukuman untuk perlindungan korban perdagangan orang yang merupakan hasil upaya kolaboratif dan konsultatif dari ASEAN Senior Officials Meeting on Transnational Crime dan ASEAN Intergovernmental Commission Human Rights tersebut memiliki 15 (lima belas) poin, yaitu :

  1. Memperkuat perundang-undangan anti perdagangan orang untuk melindungi korban dari hukuman. 
  2. Memperkuat perundang-undangan lainnya (non-perdagangan orang) untuk melindungi korban dari hukuman.
  3. Memperkuat kapasitas petugas garis depan untuk mengidentifikasi korban perdagangan orang potensial di antara orang-orang yang mereka hadapi sebagai pelaku.
  4. Membekali petugas garis depan dengan indikator untuk menyaring dan mengidentifikasi korban.
  5. Memberdayakan para petugas yang melakukan penangkapan untuk menerapkan ketentuan-ketentuan non-hukuman.
  6. Memastikan para petugas yang melakukan penangkapan memenuhi kewajibannya terhadap orang yang ditangkap.
  7. Mengakui status korban seseorang yang telah diidentifikasi di Negara Anggota ASEAN lainnya.
  8. Memperkuat kapasitas jaksa untuk menerapkan prinsip non-hukuman.
  9. Memperkuat kapasitas pengacara pembela untuk menerapkan prinsip non-hukuman.
  10. Memperkuat kapasitas anggota peradilan untuk menerapkan prinsip non-hukuman.
  11. Menerapkan keadilan restoratif daripada keadilan retributif terhadap para korban pelaku.
  12. Menghindari atau memitigasi pemidanaan bagi terdakwa korban perdagangan orang.
  13. Memberikan pemulihan kepada korban atas hukuman yang salah.
  14. Mengikutsertakan pelaksanaan prinsip non-hukuman ke dalam mekanisme pemantauan nasional dan 
  15. Melaporkan pelaksanaan prinsip non-hukuman.

Pedoman ini merupakan langkah penting dalam memperkuat perlindungan bagi korban dalam upaya pemberantasan perdagangan orang. Namun demikian, karena pedoman ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, penerapannya secara efektif oleh para hakim masih dapat menghadapi berbagai tantangan. Untuk meningkatkan daya berlakunya, prinsip tersebut di atas sebaiknya diterjemahkan ke dalam regulasi Mahkamah Agung, agar menjadi lebih mengikat dan dapat diterapkan oleh lembaga peradilan. Sementara itu, sosialisasi pedoman ini perlu terus didorong untuk lebih meningkatkan kesadaran akan perlindungan terhadap korban perdagangan orang.

https://asean.org/book/asean-guideline-on-the-implementation-of-the-non-punishment-principle-for-protection-of-victims-of-trafficking-in-persons/