logo pengadilan negeri purwakarta website ramah difable

Hakim Yang Ideal Dari Perspektif Tiga Kecerdasan, “Intelligence Quotient” (IQ), Emosional Quotient” (EQ) dan “Spiritual Quotient” (SQ)

10Jun

Ditulis oleh adminpn

HAKIM YANG IDEAL DARI PERSPEKTIF TIGA KECERDASAN, “INTELLIGENCE QUOTIENT” (IQ), EMOSIONAL QUOTIENT” (EQ) DAN “SPIRITUAL QUOTIENT” (SQ)

 

Oleh : Darma Indo Damanik, S.H., M.Kn.

Ketua Pengadilan Negeri Purwakarta

 

Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (Machstaat). Pernyataan tersebut ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya didalam ketentuan Pasal 24 Undang Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Hukum dan Keadilan adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, sama halnya seperti “tubuh” manusia dengan “ruh” nya, dimana Hukum sebagai “tubuhnya” sedangkan keadilan sebagai “ruh” nya. Keadilan adalah muara atau tujuan dari Hukum itu sendiri, jadi pada prinsipnya tidak mungkin Hukum dapat ditegakkan tanpa adanya suatu keadilan;

Untuk menjalankan Kekuasaan Kehakiman berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka dibentuklah Lembaga Mahkamah Agung beserta lembaga peradilan yang ada dibawahnya, dimana organ sentral dalam menjalankan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan tersebut adalah Hakim, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Hakim adalah “aktor utama” didalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman;

Profesi Hakim adalah profesi yang mulia (Officium Nobile) yang bermakna suatu jabatan yang penting dan terhormat dalam rangka melaksanakan tugas yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan. Di satu sisi kata “terhormat” dalam jabatan Hakim merupakan pandangan masyarakat terhadap Hakim itu sendiri berdasarkan putusan yang dihasilkan dan berdasarkan perbuatan atau tingkah laku Hakim tersebut. Pada diri seorang Hakim dituntut berbagai hal untuk dapat menyandang gelar “terhormat” tersebut, antara lain integritas, keadilan, kemandirian, dan pengetahuan hukum. Hakim juga diharapkan memiliki perilaku yang jujur, bijaksana, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi harga diri. Selain itu, hakim juga harus berdisiplin tinggi dan profesional dalam menjalankan tugasnya;

Masih segar didalam ingatan kita bahwa beberapa waktu yang lalu telah terjadi penangkapan terhadap oknum Hakim yang diduga telah melakukan tindakan “transaksional” didalam penanganan suatu perkara, bahkan salah satu oknum yang ditangkap tersebut adalah seorang Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi pengadilan Negeri dibawahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kejadian tersebut merupakan “badai” besar yang menerpa Lembaga Mahkamah Agung dan secara khusus telah mencoreng kehormatan dan keluhuran martabat Hakim Indonesia dan Lembaga Mahkamah Agung;

Selanjutnya timbul pertanyaan, kenapa kejadian tersebut dapat terjadi?, sementara Hakim merupakan profesi yang mulia (Officium Nobile) yang  menyandang gelar yang terhormat, dimana idealnya seorang Hakim tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang sifatnya “transaksional” dalam melaksanakan tugasnya;

Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba untuk memberikan opini tentang Hakim yang ideal ditinjau dari perspektif tiga kecerdasan yang harus dimiliki seorang Hakim, yaitu “Intelligence Quotient” (IQ), Emosional Quotient” (EQ) Dan “Spiritual Quotient” (SQ) agar seorang Hakim dapat terhindar dari perbuatan atau tindakan yang dapat mencoreng citra dan wibawa Hakim sebagai profesi yang mulia dan layak menyandang gelar “terhormat”.

Hakim Yang Ideal dari Perspektif Tiga Kecerdasan, “Intelligence Quotient” (IQ), Emosional Quotient” (EQ) Dan “Spiritual Quotient” (SQ)

Seorang Hakim yang ideal dituntut untuk memiliki “kecerdasan”, dimana menurut penulis kriteria kecerdasan yang harus dimiliki oleh seorang Hakim tidak hanya kecerdasan secara intelektual, akan tetapi yang tidak kalah penting yang harus dimiliki adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketiga kecerdasan tersebut harus dimiliki seseorang untuk menjadi Hakim yang ideal sehingga layak untuk mendapatkan gelar yang terhormat sebagai “profesi yang mulia” (Officium Nobile)

Pertama, akan dibahas mengenai kecerdasan intelektual atau disebut juga “Intelligence Quotient” (IQ) menurut Sternberg (2008:121) adalah sebagai kemampuan untuk belajar dari pengalaman, berpikir menggunakan proses-proses metakognitif, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Kecerdasan intelektual merupakan kemampuan menganalisis, logika dan rasio seseorang.

Kecerdasan Intelektual atau disebut juga “Intelligence Quotient” (IQ) sejatinya sudah dimiliki setiap orang ketika dia dilahirkan. Tinggi rendahnya kecerdasan Intelektual seseorang mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda tingkatannya. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor genetik, faktor minat dan faktor lingkungan (eksternal) serta faktor kematangan seseorang. Untuk mengetahui tingkatan kecerdasan intelektual seseorang biasanya dilakukan dengan berbagai metode dan tes, salah satu metode yang dilakukan adalah dengan tes psikologi. Tingkatan Kecerdasan Intelektual ini penting untuk dimiliki seseorang walaupun sejatinya tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai kesuksesan atau keberhasilan seseorang;

Terkait dengan hal tersebut diatas sebagai upaya untuk mendapatkan Hakim yang ideal, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia, telah melakukan serangkaian tes psikologi yang dikemas dalam bentuk profile assessment untuk merekrut Calon Hakim dengan harapan nanti dapat memperoleh Hakim yang ideal.

Menurut pendapat penulis, Mahkamah Agung telah melakukan langkah yang tepat dalam hal perekrutan Calon Hakim dengan melakukan tes psikologi dalam bentuk profile assessment dengan tujuan yang salah satunya untuk mengetahui tingkat Kecerdasan Intelektual seseorang sehingga nantinya akan mendapatkan seseorang yang memiliki salah satu kriteria untuk mewujudkan Hakim yang ideal. Seorang Hakim yang ideal sudah sepatutnya memiliki kecerdasaan intelektual yang mumpuni dalam pelaksanaan tugasnya;

Selanjutnya Kedua, kita akan membahas tentang Kecerdasan Emosional atau disebut juga dengan “Emosional Quotient” (EQ) yaitu kemampuan untuk memahami, mengelola, dan menggunakan emosi diri sendiri dan orang lain. Ini melibatkan kesadaran diri, pengendalian diri, keterampilan sosial, empati, dan motivasi diri. Kecerdasan Emosional penting karena membantu seseorang untuk menjalani hubungan sosial yang baik, beradaptasi dengan perubahan, dan menghadapi stres.

Selain itu kecerdasan emosional dapat membantu seseorang untuk berkomunikasi dengan efektif, membangun tim yang kolaboratif, menghadapi stres dan perubahan dengan baik, memecahkan masalah dan mengambil keputusan yang lebih baik, meningkatkan kualitas hubungan sosial dan pribadi

Seorang Hakim yang ideal juga dituntut memiliki Kecerdasan Emosional yang baik, oleh karena didalam menangani suatu perkara sejatinya seorang Hakim harus memiliki pengendalian diri dan emosi yang baik sehingga diharapkan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara didasarkan suatu pemikiran yang jernih sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan di persidangan dan bukan didasarkan kepada emosi yang tidak terkendali, misalnya dalam contoh kasus seorang Hakim yang memutus perkara pencurian suatu benda berupa handphone dengan hukuman yang tinggi dengan alasan yang sifatnya pribadi yakni hakim tersebut pernah menjadi korban karena handphonenya hilang dicuri orang. Keadaan tersebut dapat saja terjadi diakibatkan oleh karena Hakim tersebut tidak dapat mengendalikan emosinya sehingga mengabaikan fakta-fakta atau keadaan meringankan yang ditemukan di persidangan;

Selanjutnya seorang hakim juga harus memiliki rasa empati, yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, sehingga dalam memutuskan suatu perkara menjadi lebih peka dalam menilai suatu peristiwa yang terjadi. Sebagai contohnya seorang Hakim yang menyidangkan suatu perkara kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan seorang istri meninggal dunia, dimana yang menjadi terdakwanya adalah suaminya sendiri, ditambah lagi suatu keadaan bahwa mereka mempunyai anak-anak yang masih usia balita. Disini Hakim dituntut untuk memiliki rasa empati terhadap perkara yang sedang ditanganinya tersebut. Dengan mempunyai rasa empati maka diharapkan seorang Hakim akan memutuskan perkara tersebut dengan seadil-adilnya dengan mempertimbangkan kepentingan yang terbaik untuk anak-anaknya yang masih balita;

Ketiga, lebih lanjut mengenai Kecerdasan Spiritual atau disebut juga “Spiritual Quotient” (SQ) adalah kemampuan untuk memahami makna dan tujuan hidup, serta mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Ini melibatkan pemahaman diri, kesadaran batin, dan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar. Kecerdasan spiritual juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memberikan makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, menuju manusia yang seutuhnya;

Kecerdasan Spiritual (SQ) menurut penulis merupakan pelengkap dari dua kecerdasan yang telah dibahas sebelumnya. Kecerdasan Spiritual erat kaitannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta karena merupakan kemampuan seorang manusia untuk memahami makna dan tujuan hidup. Kecerdasan ini hanya dapat diperoleh dengan memperbaiki hubungan kita dengan Sang Pencipta dengan cara beribadah sesuai dengan keyakinan dan agamanya masing-masing dan konsisten untuk menjalankan seluruh perintahNya serta meninggalkan semua laranganNya;

Seorang Hakim yang ideal juga harus memiliki kecerdasan Spiritual agar dapat memberikan suatu putusan yang dapat memenuhi rasa keadilan. Sering terjadi didalam menangani suatu perkara, Hakim dihadapkan didalam situasi yang sulit untuk membuat suatu keputusan oleh karena ada dua pilihan yang sama-sama diyakini kebenarannya. Didalam kepercayaan umat muslim terhadap permasalahan tersebut diatas dapat diselesaikan dengan cara berkomunikasi dengan Sang Pencipta (Allah SWT) melalui sholat “istikharah” untuk memohon petunjuk kepada Sang Pencipta mana pilihan yang paling baik dan tepat. Tentu saja hal tersebut dapat terlaksana apabila kita mempunyai hubungan yang baik dengan Sang Pencipta;

Selain itu Hakim juga harus memiliki kecerdasan Spiritual agar terhindar dari perbuatan tercela yang dapat mencederai dan meruntuhkan wibawa dan martabat jabatan Hakim itu sendiri. Seorang Hakim yang ideal harus dapat konsisten untuk menjalankan seluruh perintah Sang Pencipta dan meninggalkan larangannya. Sebagai contoh dalam melaksanakan tugasnya untuk menerima, memeriksa dan memutuskan suatu perkara seorang Hakim telah profesional dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, akan tetapi di sisi yang lain Hakim tersebut secara diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan salah seorang pegawai di kantor tersebut padahal Hakim tersebut sudah memiliki istri dan anak, kejadian ini tidak akan terjadi apabila Hakim tersebut memiliki Kecerdasan Spiritual yang baik;

Penutup

Demikian opini penulis tentang Hakim yang ideal ditinjau dari perspektif tiga kecerdasan yang harus dimiliki seorang Hakim, yaitu Intelligence Quotient” (IQ), Emosional Quotient” (EQ) Dan “Spiritual Quotient” (SQ), semoga bermanfaat bagi pembaca, khususnya Para Hakim Indonesia;