Keyakinan Hakim Sebagai Eksistensi Kebenaran Materiil Dalam Pembuktian Perdata Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata Nasional
23Oct
Keyakinan Hakim Sebagai Eksistensi Kebenaran Materiil Dalam
Pembuktian Perdata Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata Nasional
Oleh: Dr. Yustika Tatar Fauzi Harahap, S.H., M.H.
Hakim Pengadilan Negeri Purwakarta
Terdapat parameter dalam teori hukum pembuktian kontemporer yaitu teori pembuktian berdasarkan undang-undang, teori pembuktian berdasarkan keyakinan semata, pembuktian berdasarkan batas-batas yang logis dan pembuktian berdasarkan keyakinan yang lahir dari alat bukti.
Dalam pembuktian pidana menurup KUHAP menerapkan prinsip kebenaran yang diwujudkan dengan bukti-bukti yang diakui benar dan tidak meragukan atau (beyond reasonable doubt), sehingga kebenaran tersebut dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki atau materiele waarheid atau ultimate truth, sedangkan dalam pembuktian perdata kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formal atau formed waarheid, sehingga tidak dituntut adanya keyakinan hakim.
Persoalan yang terjadi di praktik apakah masih relevan dalam praktik pembuktian hukum acara perdata menggunakan teori mencari kebenaran formal atau formed waarheid sebagai konsekusensi penerapan teori pembuktian berdasarkan undang-undang? Sudah menjadi pengetahuan umum apabila permalasalahan hukum yang terjadi dimasyarakat lebih cepat dibandingkan dengan merumuskan norma dalam pembentukan hukum. Oleh karena itu, dikenal dalam adagium Belanda dengan istilah “Het Recht Hink Achter De Feiten Aan” yang dalam terjemahan bebas diartikan ilmu hukum yang selalu tertinggal dengan peristiwa yang akan diatur.
Beberapa ketentuan yang mengikat dalam hukum acara perdata dan hukum perdata yaitu Pertama, pengaturan alat-alat bukti (bewijsmiddelen) bersifat limitatif (Pasal 1865 KUHPerdata/Pasal 164 HIR) terdiri dari (a) alat bukti tulisan, (b) alat bukti saksi, (c) alat bukti persangkaan, (d) alat bukti pengakuan, (e) alat bukti sumpah. Kedua, kekuatan alat bukti dalam proses persidangan perkara perdata ada yang digolongkan sebagai bukti yang sempurna dan mengikat yaitu akta otentik, pengakuan atau sumpah pemutus, dan Ketiga, cara penggunan bukti dalam perkara perdata dikenal istilah pembagian beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa hukum.
Adanya bukti yang sempurna dan mengikat hakim menjadikan batasan bagi hakim dalam menjalankan fungsi mencari kebenaran artinya sekalipun kebenarannya diragukan, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk menilai akta otentik, pengakuan atau sumpah pemutus, Dengan demikian, hakim hanya mampu mencari kebenaran formal sehingga hakim harus mempercayai alat bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan karena keyakinan hakim tidak diharuskan sebagai konsekuensi prinsip hakim pasif.
Dalam prespektif ilmu filsafat untuk mencari kebenaran dapat menggunakan 2 (dua) teori, pertama teori korespondensi (correspondence) atau persesuaian yaitu kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju dan kedua, teori koherensi (coherence) atau berhubungan yaitu kebenaran merupakan kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai yang benar.
Menurut penulis, untuk mencari kebenaran dalam pembuktian perkara perdata dapat menerapkan teori koherensi yaitu suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Teori koherensi menggunakan 2 (dua) pendekatan, pertama pendekatan kebenaran dalam arti akurasi (accuracy) yaitu surat gugatan dan surat jawaban dijadikan panduan/pedoman keakuratan bukti-bukti dan kedua pendekatan kebenaran keandalan (reliability) yang dapat diwujudkan pada saat proses pencarian fakta dalam pembuktian atau dengan metode perbandingan alat-alat bukti, sehingga hakim dapat melakukan pencarian fakta sebatas kemungkinan kebenarannya.
Disamping itu, alasan pencarian kebenaran formil dalam hukum acara perdata lebih mendekati teori koherensi karena hakim menjalankan tugas dan fungsinya harus menerapkan hukum yang tidak bertentangan dengan akal sehat atau dapat diterima sebagai putusan yang rasional dengan batasan undang-undang yang mengatur jenis alat bukti perdata, kekuatan alat bukti dan cara pengajuan alat bukti. Dengan demikian, hakim masih diberikan kebebasan untuk menemukan hukum melalui penafsiran peraturan perundang-undangan.
Pembuktian dalam perkara perdata di pengadilan secara umum didasarkan pada 3 (tiga) kejadian prinsip yaitu sebagai berikut:
a. Penerimaan alat bukti
Penerimaan alat bukti atau proses akseptasi alat yaitu kegiatan hakim berupa menerima jenis-jenis alat bukti dengan menyandarkan pada aturan-aturan yang terdapat dalam hukum perdata formil.
b. Pemilahan alat bukti
Pemilahan alat bukti adalah kegiatan hakim melakukan pencocokan alat-alat bukti dengan peristiwa yang lebih mendekati dan terhadap bukti yang tidak cocok atau berlawanan satu dengan yang lain perlu dikesampingkan dalam pertimbangannya.
c. Penilaian alat bukti
Penilaian alat bukti adalah kegiatan hakim dalam rangka proses pemberian nilai pembuktian, hubungan antara alat bukti, kemungkinan, generalisasi, penalaran, argumentasi dan penarikan kesimpulan selama di persidangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka teori kebenaran formal atau formed waarheid sebagai konsekusensi penerapan teori pembuktian berdasarkan undang-undang sudah tidak relevan karena keyakinan hakim dalam pembuktian perdata tersebut dapat dihadirkan khususnya dalam penilaian alat bukti, bukan mengenai keyakinan suatu peristiwa sebagaimana dalam hukum pidana.
Dapat disimpulkan, keyakinan hakim dalam hukum perdata juga merupakan bagian dari kebenaran materil sebagaimana dalam hukum pidana namun sifatnya terbatas (dependen). Dengan kata lain, dalam hukum pembuktian perdata mencari kebenaran materil terbatas karena masih bergantung pada kebenaran formil yang tunduk pada alat bukti yang bersifat kuat dan sempurna.