logo pengadilan negeri purwakarta website ramah difable

“Hot Tubbing” Suatu Mekanisme Pembuktian Yang Efektif Dihadapkan Kebimbangan Atas Bukti Ilmiah Yang Saling Bertentangan

29Oct 2025

Diupload oleh timmedia pada tanggal 29 October 2025, 02:54:00 PM

“HOT TUBBING” SUATU MEKANISME PEMBUKTIAN YANG EFEKTIF DIHADAPKAN KEBIMBANGAN ATAS BUKTI ILMIAH YANG SALING BERTENTANGAN

 (PERSPEKTIF DALAM PERKARA LINGKUNGAN HIDUP)

Oleh: I Gede Adi Muliawan

Hakim Pengadilan Negeri Purwakarta

 

A. LATAR BELAKANG

Kehidupan heterogen dari kompleksitas kehidupan masusia akan memberikan warna pada setiap interaksinya, manusia memiliki hubungan yang mulia kehadapan penciptanya[1], begitu juga manusia dengan manusia saling berinteraksi dengan menyeimbangkan isi alam semesta dengan hiruk pikuk persoalan baik itu untuk melakukan kebaikan ataupun sebaliknya untuk melakukan suatu keburukan, tidak kalah pentingnya pula hubungan manusia dengan alam yang dalam kehidupannya memiliki interaksi kuat untuk saling membutuhkan satu sama lainnya[2]. Dalam hal ini ketika befokus pada hubungan manusia dengan alam sekiranya masih ditemukan ketidakseimbangan dalam menciptakan harmonisasi kehidupan manusia dengan alamnya. Manusia seringa kali hanya sebagai pihak yang senantiasa memanfaatkan alam dengan segala kebutuhannya, namun abai ketika diminta untuk bertanggungjawab atas perbuatannya, atau abai untuk memberikan perlindungannya kepada alam. Alam adalah ruang tempat manusia memanfaatkan kehidupannya, alamlah yang mendewasakan segala kehidupan manusia. Dalam konstitusi Republik Indonesia memberikan makna bahwa Indonesia sebagai penganut green konstitution[3], hal ini tertuang dalam pasal 28 H dengan redaksi “Setiap orang berhak hidup serta berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat", dan pasal 33 ayat (4) dengan redaksi "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional", memberikan makna bahwa dasar berdirinya Negara Indonesia, selalu ingat untuk menyeimbangkan antara Pembangunan dengan lingkungan dimana rakyat Indonesia berpijak di bumi ini.

Persolan-persoalan manusia dengan alam dalam sepesifikasi lebih sempit yaitu lingkungan seringakali buntu dalam upaya penyelesainnya, lingkungan seolah-olah dianggap diam, karena dianggap tidak mampu untuk menuntut haknya, sehingga melalui tangan-tangan yang masih peduli akhirnya persoalan-persoalan lingkungan tidak jarang berujung pada proses penyelesaian melalui mekanisme di Pengadilan.

Penyelesaian masalah lingkungan di Pengadilan dalam paradigmanya ditempuh dengan pendekatan-pendekatan baik secara administrasi, pidana, maupun secara perdata, yang pada hakekekatnya berorientasi pada capaian bahwa lingkungan memiliki fungsi keberlanjutan dalam tata kehidupan manusia baik itu untuk sekarang maupun dimasa mendatang.[4] Dalam proses persidangan tentu menjadi titik sentral adalah terletak pada pembuktian yang disajikan dihadapan persidangan, guna menentukan sikap oleh Hakim atas suatu kebenaran dan keadilan. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang lahir sebagai amanat konstitusi memberikan panduan secara umum, termasuk pula pada panduan mengenai alat bukti, dalam pasal 96 memberikan garis umum mengenai alat-alat bukti, yakni Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang undangan.

Hal yang disebutkan dalam pasal 96 Nomor 32 Tahun 2009 khususnya huruf f memberikan definisi yang sangat luas, atau adanya suatu perluasan alat bukti dalam sistem pembuktian hukum lingkungan salah satunya adalah “Scientific evidence”[5]. Bukti ilmiah itu sendiri memilki karakteristik  diantaranya 1. Didukung metode ilmiah: Dikumpulkan melalui prosedur penelitian yang sistematis, objektif, dan dapat direplikasi. 2. Dapat dipercaya dan valid: Dianggap sahih jika proses pengumpulan dan analisisnya didasarkan pada metode yang valid, mutakhir, dan diakui oleh komunitas ilmiah, 3. Berbasis data: Hasil dari observasi, pengukuran, dan eksperimen yang kemudian dianalisis untuk menarik kesimpulan, 4. Dapat ditinjau oleh ahli: Seringkali diserahkan kepada para ahli untuk dinilai validitasnya, terutama dalam konteks hukum. Scientific evidence itu sendiri dengan karakteristiknya dimaksud tentunya didapat dari suatu proses ilmiah oleh ahli dibidangnya. Dalam hal ini apabila berangkat dari meode ilmiah yang berbeda, komunitas ilmiah yang berbeda, pengambilan contoh atau sampling bahan yang berbeda pengambilannya, seringkali akan memunculkan hasil yang berbeda, sehingga data ilmiah yang disajikanpun seringkali data ilmiah yang berbeda ketika digunakan sebagai bukti hukum dipersidangan.

Perkembangan hukum pembuktian dikalangan para praktisi hukum lingkungan dibuat kesulitan atau kebimbangan dalam mengatasi persoalan hukum atas bukti ilmiah yang berbeda tersebut. Untuk memberikan pedoman terhadap hal tersebut, Mahkamah Agung sebagai Lembaga Negara dengan fungsinya penyelengara Kekuasaan Kehakiman memberikan legalitas untuk menyikapi hal tersebut dengan mengeluarkan produk hukum dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup[6]. 

Permasalahan perbedaan pendapat dari ahli atau hasil kajian ahli yang berbeda, PERMA memberikan jalan keluarnya, yakni sebagaimana dalam pasal 43 ayat (4) dengan redaksi “Apabila terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli, Hakim Pemeriksa Perkara dapat meminta dihadirkan ahli lain atas biaya para pihak atau menggunakan pendapat ahli yang dianggap benar dengan memberikan alasannya dalam pertimbangan hukum”. PERMA tersebut mencoba memberikan jalan keluar yang cemerlang guna mengantisipasi kekosongan dalam kebutuhan praktik peradilan.

 

B. PERMASALAHAN

Lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2023 mencoba memberikan jalan keluar yang efektif dari persoalan-persoalan pembuktian dalam perkara lingkungan khususnya perbedaan pendapat dari ahli atau hasil kajian ahli yang berbeda, namun demikian terdapat permasalahan baru yang sekiranya dapat terjadi dari persoalan dimaksud diantaranya: 

  1. apabila terdapat perbedaan pendapat ahli atau hasil penelitian ilmiah ahli dan ada keraguan hakim sehingga membutuhkan ahli lainnya dengan biaya ditanggung para pihak, bagaimana jika pihak keberatan untuk menghadirkan ahli lainnya ?
  2. apabila menghadirkan ahli lainnya bagaimana jika menghasilkan pendapat ahli yang berbeda dari ahli yang sudah dihadirkan dalam persidangan ?

 

C. PEMBAHASAN

1. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG (PERMA) SEBAGAI SALAH SATU SUMNBER HUKUM

Dalam berbagai kalangan sering kita dengar berkenaan dengan sumber-sumber hukum yang menjadi pedoman dalam hukum di Indonesia yakni Peraturan Perundang-undangan, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi, dan Doktrin[7], namun demikian dalam pemahaman hukum yang berkembang sumber hukum menjadi lebih luas, jika mendalami serta menelaah berkaitan dengan sumber hukum yang ada saat ini yakni dengan merujuk pada Undang undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam pasal 7ayat (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dan selanjutnya ayat (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam lanjutannya yakni Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Dan ayat (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dari norma yang memberlakukan kaedah-kaedah sumber hukum yang ada tentu memberikan ketegasan yang rasional bahwa Peraturan Mahkamah Agung menempatkan dirinya sebagai sumber hukum yang keberadaannya secara tegas dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, tentunya Mahkamah Agung sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman dalam kaedah konstitusi[8] dan Undang-undang Mahkamah Agung diberi ruang untuk merumuskan suatu norma yang dianggap terdapat kekosongan hukum yang akhirnya memberi celah yang positif dalam penegakan hukum khususnya khasanah peradilan.

 

2. ALAT BUKTI ACARA PIDANA DALAM KUHAP DAN ACARA PERDATA DALAM H.I.R. / R.Bg.

Sebagai pemahaman yang lazim dalam memahami kaedah pembuktian baik dalam acara pidana maupun perdata tidaklah jauh ketika kita di hadapakan pada alat-alat bukti sebagaimana dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk perkara pidana dengan merujuk pada pasal 184 KUHAP memberikan penjelasan bahwa Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Sedangkan dalam praktik acara perdata alat-alat bukti yang menjadi pedoman beracara adalah merujuk pada Pasal 164 HIR/284 RBG mengatur tentang lima alat bukti sah dalam hukum acara perdata, yaitu surat, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah

Dari alat bukti yang ada tentunya disaat terbitnya KUHAP dan berlakunya H.I.R. / R.Bg. sampai dengan saat ini masih dipandang relevan untuk diterapkan dalam mengakomodir kebutuhan praktik beracara khususnya baik itu pidana dan perdata. Akan tetapi hukum itu dinamis dan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman hal ini senada dengan pandangan Karl Von Savigny[9]. Bertitik tolak dari hal itu begitupula dengan sistem hukum pembuktian yang ada di Indonesia selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman, terlebih pada permasalahan hukum lingkungan yang begitu kompleks dan rumit.

 

3. ALAT BUKTI PIDANA MENURUT PERMA 1 TAHUN 2023

Perkembangan alat bukti begitu dinamis dalam hal perkara pidana lingkungan hidup. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 PERMA diantaranya  : Alat bukti dalam tindak pidana lingkungan hidup adalah: 

a. keterangan saksi.
b. keterangan ahli. 
c. surat: 
1. hasil laboratorium, dituangkan dalam bentuk tertulis yang dapat dikuatkan dengan keterangan ahli dipersidangan.
2. berita acara pengambilan sampel -pengambilan sampel harus valid diambil dengan prosedur ilmiah yang berlaku pada saat itu dan/atau sesuai standar nasional Indonesia.
3. hasil interpretasi tertulis dari foto satelit.
4. Surat atau nota dinas, memorandum, notula rapat atau segala sesuatu yang terkait.
5. Peta; dan
6. Dokumen kajian ilmiah antara lain KLHS, Amdal, UKL-UPL, SPPL;
d. Alat Bukti elektronik
1. Informasi elektronik.
2. Dokumen elektronik. dan/atau
3. Hasil cetak informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
e. Petunjuk.
f. Keterangan Terdakwa .
g. Keterangan korporasi.
h. Hasil forensik lingkungan, hutan, satwa liar; dan/atau
i. Alat bukli lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

 

4. ALAT BUKTI PERDATA MENURUT PERMA 1 TAHUN 2023

Begitu juga dengan beracara perdata melahirkan suatu perluasan alat bukti, guna memberikan kepastian ilmiah dan keadilan yang lebih substansial dalam beracara perdata, dalam hal ini dengan merujuk pada pasal 42 dijelaskan alat-alat bukti perdata dalam perkara lingkungan diantaranya : 

a. Surat:
1.  hasil laboratorium, dituangkan dalam bentuk tertulis yang dapat dikuatkan dengan keterangan ahli dipersidangan.
2.  berita acara pengambilan sampel -pengambilan sampel harus valid diambil dengan prosedur ilmiah yang berlaku pada saat itu dan/atau sesuai standar nasional Indonesia.
3.  hasil interpretasi tertulis dari foto satelit.
4.  Surat atau nota dinas, memorandum, notula rapat atau segala sesuatu yang terkait.
5.  Peta; dan
6.  Dokumen kajian ilmiah antara lain KLHS, Amdal, UKL-UPL, SPPL;
b. Keterangan saksi.
c. Keterangan ahli.
d. Pengakuan.
e. Sumpah.
f. Persangkaan hakim
g. Alat Bukti elektronik
1.  Informasi elektronik.
2.  Dokumen elektronik. dan/atau
3.  Hasil cetak informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
h. Hasil forensik lingkungan, hutan, satwa liar; dan/atau
i. Alat bukli lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undang.

 

5. ALAT BUKTI ILMIAH DENGAN SEKELUMIT PERSOALANNYA

Sebagaimana yang pernah disinggung dalam topik permasalahan yakni prihal keberadaan pasal 43 ayat (4) PERMA 1 tahun 2023 “apabila terdapat perbedaan pendapat ahli atau hasil penelitian ilmiah ahli dan ada keraguan hakim sehingga membutuhkan ahli lainnya dengan biaya ditanggung para pihak, bagaimana jika pihak keberatan untuk menghadirkan ahli lainnya, dengan memahami makna pasal tersebut, hal ini menjadi jalan keluar yang baik dalam mengatasi kebimbangan yang ada ketika Hakim pemeriksa perkara lingkungan hidup disuguhkan pada dua alat bukti ilmiah yang dalam kesimpulan masing-masing mengarah pada hasil yang tidak sama, namun menjadi persoalan bahwa melakukan penelitian ilmiah ataupun mendengar pendapat ahli lainnya untuk hadir dipersidangan itu tentunya menjadi persoalan baru diantaranya bahwa kesanggupan untuk menghadirkan ahli yang baru akan membutuhkan biaya yang lebih besar dalam proses beracara, karena secara subyektif kapasitas keuangan dari para pihak belum tentu dapat menjangkau untuk menghadirkan ahli lainnya, kemudian ahli yang dimaksud apakah ahli yang ditentukan oleh Majelis Hakim, ataukah ahli yang telah disepakati bersama, tentunya hal ini akan membutuhkan waktu kembali, untuk menentukan ahli berikutnya, sehingga hal tersebut akan akan membutuhkan waktu lebih dalam penanganan perkara.

Dalam konteks permasalahan kedua yakni jika ternyata ahli lainnya yang dihadirkan dalam persidangan membawa suasana baru dalam hasil kajian ilmiahnya, ataupun membawa suasana baru pula dalam pendapatnya sebagai ahli, maka akan memberikan tambahan rasa “frustasi” bagi hakim dalam menyelesaikan persoalan hukumnya, terlebih lagi akhirnya hakim lebih meyakini pada pandangan atau pendapat ahli sebelumnya yang pernah dihadirkan dalam persidangan, apakah kemudian hal ini tidak akan mengusik perasaan para pihak ketika ternyata biaya yang sudah dikeluarkan untuk menghadirkan ahli lainnya tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim dalam menentukan putusannya. Hakim adalah umat manusia yang diberikan suatu kewenangan yang tidak dapat dilepaskan pada sifat esensial manusia. Suatu kebingungan suatu kebimbangan adalah suatu sifat alamiah dari manusia yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya didalam diri manusia[10] begitu juga Hakim ketika dihadapkan pada nilai-nilai kebenaran ilmiah yang memberikan benturan-benturan pikirannya saat harus menuntaskan persoalan yang ada dihadapannya.

 

6. METODE “HOT TUBBING” SEBAGAI SUATU PENDEKATAN DALAM MEMINIMALISIR SUATU KEBIMBANGAN

Dalam proses persidangan pemeriksaan ahli seringkali dipisahkan dalam kesempatan menyampaikan pendapatnya dihadapan persidangan, hal ini didasarkan pada kesempatan pembuktian yang diberikan kepada Para Pihak yang berperkara, namun demikian kesempatan memaparkan pendapat atas keahliannya tersebut serta hasil data untuk menjadikan data ilmiahnya yang dipaparkan dipersidangan dengan adanya kesempatan yang berbeda dalam waktu tertentu, sering kali akhirnya mengurangi daya ingat Hakim untuk membenturkan cara pandang para ahli yang dihadirkan, sehingga pada titik capaian kesimpulan melahirkan kebimbangan hakim pada saat akhirnya menentukan sikap dalam putusannya. 

Dalam meminimalisir hal tersebut lahir suatu konsep untuk mengurangi keraguan ataupun kebimbangan dalam menyikapi adanya perbedaan bukti ilmiah ataupun pendapat ahli yang disajikan dalam persidangan. Andaikatapun bahwa alat bukti ilmiah telah dilahirkan dari suatu mekanisme hukum yakni dalam memeriksa bukti ilmiah yang diajukan dalam proses persidangan perkara lingkungan hidup, Hakim pemeriksa perkara mempertimbangkan ketepatan metode dan validitas prosedur pengambilan sampel dengan memperhatikan akreditasi laboratorium serta pendapat ahli dari kedua belah pihak.

Konsep ini dibeberapa Negara dikenal dengan istilah “Hot Tubbing” yakni merujuk pada praktik persidangan di mana para ahli dari pihak yang bersengketa memberikan pendapatnya dipersidangan secara bersamaan. Praktik ini dikenal juga dengan istilah  "Concurrent evidence expert" yakni metode persidangan di mana para ahli dari disiplin ilmu yang sama memberikan kesaksian secara bersamaan atau simultan dihadapan persidangan, bukan satu per satu secara terpisah Penerapan hot tubbing bervariasi di berbagai negara, tergantung pada sistem hukum dan yurisdiksi masing-masing. 

Dengan konsep yang dimaksud tentunya memberikan kemudahan-kemudahan dalam pemeriksaan khususnya terkait dengan adanya pemeriksaan ahli ataupun bukti ilmiah yang berbeda dalam persidangan. Hakim dapat melakukan cross examination terhadap ahli dari para pihak dan dapat menantang satu sama lain argumen ilmiah dari ahli yang dihadirkan oleh Para Pihak, dengan adanya sistem hot tubbing ini akan memudahkan hakim dalam membentuk kepercayaan dirinya dan mengetahui secara persis dan pasti atas ketepatan metode dan validitas prosedur pengambilan sampel. Konsep ini juga memberikan kemudahan dalam beracara dan penghematan dalam biaya beracara, karena tidak diperlukan lagi untuk memanggil ahli lain yang didengar dihadapan persidangan. Hakim dalam memeriksa dan mempertimbangkan perkara lingkungan hidup dengan kompleksitas pembuktian bukti ilmiah tentunya keraguan ataupun kebimbangan tetaplah selalu ada dalam diri pribadinya, namun diatas keraguan itu tentu ada nilai yang lebih tinggi yaitu apapun esensi keraguan itu tidaklah dapat dikesampingkan akan nilai-nilai yang adil untuk tetap mempertahankan keadilan untuk alam terkhusus keadilan untuk lingkungan, maka tidak salah jika hakim dihadapkan pada keraguan maka ia mengambil sikap untuk mengambil keputusan untuk menguntungkan alam atau lingkungan, hal ini dikenal dengan istilah in dubio pro natura[11]

Kebijaksanaan dan kearifan Hakim dalam menetukan dan mengambil sikap memutuskan perkara lingkungan memilki sikap mendasar yakni adanya prinsip kehati-hatian yakni adanya sebuah pendekatan manajemen risiko yang menyatakan bahwa jika ada potensi bahaya serius bagi masyarakat atau lingkungan, dan bukti ilmiah belum sepenuhnya meyakinkan, maka tindakan pencegahan harus diambil. Prinsip ini menekankan bahwa ketidakpastian ilmiah tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda tindakan preventif guna melindungi kesehatan manusia dan lingkungan (precautionary principle).[12]

 

7. HOT TUBBING DI BEBERAPA NEGARA

Penerapan Hot Tabbing telah dilakukan dibeberapa Negara dan khususnya negara-negara tersebut konsen atas perlindungan lingkungan, dan ini menjadi penting sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan terkait sistem pembuktian ilmiah dalam sistem pembuktian perkara lingkungan di Indonesia, negara tersebut antara lain :

Kanada

Pengenalan dan Penerimaan: Praktik ini pertama kali digunakan secara sporadis di beberapa yurisdiksi di Kanada, seperti British Columbia dan Ontario, pada awal tahun 2000-an. Sejak saat itu, penggunaannya berkembang, terutama dalam kasus-kasus kompleks yang melibatkan kesaksian ahli dari berbagai bidang, misalnya dalam kasus sengketa konstruksi.
Tujuan: Dengan menerapkan hot tubbing, pihak yang bersengketa bertujuan mengurangi bias dari masing-masing ahli dan membuat perbandingan antar kesaksian yang lebih mudah bagi hakim atau juri.
Pelaksanaan: Dalam persidangan hot tubbing, ahli dari setiap pihak didudukkan bersama-sama, dan mereka akan menjawab pertanyaan dari hakim, juri, atau pengacara. Hal ini memungkinkan adanya diskusi langsung, debat, dan klarifikasi yang dapat membantu mencapai kejelasan dalam masalah yang rumit. 

Australia

Pelopor: Australia adalah salah satu negara pertama yang secara luas menerapkan hot tubbing dalam persidangan. Penggunaan praktik ini di Australia dimulai di Federal Court, dan kemudian diadopsi di beberapa negara bagian, seperti New South Wales dan Victoria.
Mekanisme: Hakim akan mendengarkan kesaksian dari para ahli secara bersamaan, dan mereka akan diajak berdiskusi tentang perbedaan pendapat atau kesepakatan dalam penilaian yang diberikan. Hakim dapat bertanya langsung kepada para ahli, dan para pengacara juga dapat mengajukan pertanyaan.
Keuntungan: Penerapan hot tubbing di Australia dianggap dapat mempercepat proses persidangan, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi biaya. Selain itu, praktik ini dapat membuat kesaksian lebih mudah dipahami oleh hakim atau juri, karena ahli dapat mengklarifikasi perbedaan pendapat secara langsung. [13]

Singapura

Penerapan dalam Kasus Sipil: Singapura adalah salah satu negara Asia yang juga mengadopsi hot tubbing, terutama dalam kasus-kasus sipil. Praktik ini telah digunakan dalam beberapa kasus penting, seperti kasus sengketa komersial dan hak kekayaan intelektual.
Tujuan: Dengan menerapkan hot tubbing, Singapura bertujuan meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam proses persidangan, serta membantu hakim untuk mengambil keputusan yang lebih tepat.
Pelaksanaan: Dalam persidangan hot tubbing, para ahli akan duduk bersama dan menjawab pertanyaan dari hakim atau pengacara. Hal ini memungkinkan adanya diskusi langsung dan klarifikasi yang dapat membantu mencapai kejelasan dalam masalah yang rumit. 
 

D. KESIMPULAN

Penilaian alat bukti ilmiah yang didukung dengan pendapat ahli dari hasil data yang telah diteliti dengan merumuskan suatu kesimpulan ilmiah yang kemudian dihadapkan dipersidangan tentu menjadi fenomena hukum yang dapat membantu hakim dalam merumuskan nilai-nilai kebenaran ilmiah dan keadilan. Perbedaan-perbedaan ilmiah yang disajikan sebagai bukti ilmiah yang ditarik selanjutnya menjadi bukti hukum seringkali dihadapkan pada pendapat ahli yang berbeda dari ahli-ahli yang dihadirkan pihak guna mendukung dalil kebenaran masing-masing, PERMA 1 tahun 2023 memberikan alternatif untuk menghadirkan ahli lainnya guna mengurangi keraguan dari pendapat ahli yang berbeda, mekanisme tersebut menjadi suatu solusi yang dapat diterapkan, akan tetapi dalam hal ini terdapat persoalan-persoalan baru yang dapat timbul, seperti masalah kesanggupan dari sisi biaya dan hasil pendapat ahli yang berbeda pula dari ahli yang telah dihadirkan. Atas hal tersebut dapat dilakukan suatu metode yakni metode hot tubbing yang dipandang memberi efisiensi waktu dan biaya serta mempermudah memberikan analisa bagi hakim dalam mengadu data ilmiah yang didapat.
 

 


[1] Hubungan Ontologis (Pencipta-Makhluk): Manusia diciptakan oleh Tuhan, menjadikannya sebagai sumber eksistensi manusia. Manusia adalah makhluk yang diciptakan dan bergantung pada Tuhan sebagai Pencipta-Nya.
[2] Beberapa teori hubungan manusia dengan alam diantaranya :
Antroposentrisme: Pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan memiliki nilai tertinggi dalam tatanan alam semesta. Kepentingan manusia menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan alam.
Ekosentrisme: Meluasnya etika lingkungan untuk melihat alam secara keseluruhan. Teori ini melihat manusia dan alam sebagai bagian dari ekosistem yang saling terkait dan memiliki nilai.
Biosentrisme: Menekankan nilai intrinsik dari semua kehidupan. Semua makhluk hidup memiliki nilai dan harus dihormati, sehingga komunitas moral tidak hanya terbatas pada manusia saja.
Teosentrisme: Teori etika lingkungan yang menitikberatkan hubungan antara manusia dengan lingkungan secara keseluruhan, sering kali dengan dasar pemahaman religius dan spiritual. 
[3] "Green constitution" atau konstitusi hijau adalah konsep memasukkan prinsip-prinsip kelestarian dan perlindungan lingkungan hidup ke dalam konstitusi negara untuk menjadikan perlindungan lingkungan sebagai hak fundamental dan tanggung jawab konstitusional
[4] Intergenerational equity adalah prinsip keadilan antargenerasi yang menyatakan bahwa generasi sekarang memiliki tanggung jawab untuk memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan dengan cara yang adil, sehingga generasi mendatang tetap memiliki hak untuk mewarisi lingkungan yang setidaknya sama baiknya dan tidak dibebani kerusakan yang disebabkan oleh generasi saat ini. Konsep ini menjadi dasar pembangunan berkelanjutan yang mengakui bahwa setiap generasi adalah "penjaga" bumi yang perlu mengelola sumber daya secara bijak untuk masa depan. 
[5] “Scientific evidence atau bukti ilmiah adalah informasi yang didapatkan dari proses ilmiah yang ketat untuk mendukung atau membantah suatu klaim, fakta, data, atau hipotesis. Bukti ini dikumpulkan melalui metode ilmiah yang valid, relevan, dan dapat diandalkan, seperti hasil observasi, data eksperimental, analisis DNA, atau laporan uji toksikologi. Bukti ilmiah juga menjadi alat penting dalam hukum untuk membuktikan suatu fakta dalam kasus-kasus yang kompleks
[6] Dalam tulisan ini akan disingkat PERMA
[7]   Peraturan Perundang-undangan: Ini adalah sumber hukum formal yang paling utama di Indonesia, yang secara hierarkis meliputi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR), Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda) Provinsi. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota. Kebiasaan: Suatu perbuatan yang diulang-ulang oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang dianggap berlaku sebagai aturan hukum (hukum adat).Traktat: Perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dengan negara lain. Yurisprudensi: Keputusan hakim terdahulu yang menjadi pedoman bagi hakim lain dalam kasus serupa. Doktrin: Pendapat para ahli hukum terkemuka yang dijadikan rujukan dalam memahami hukum. 
[8] Pasal 24A Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia Amandemen “Mahkamah Agung berwenang mengadili  pada tingkat  kasasi, menguji  peraturan  perundang­undangan  di  bawah  undang ­undang terhadap undan g­undang, dan  mempunyai  wewenang lainnya  yang diberikan  oleh  undang ­undang”
[9] Friedrich Karl von Savigny (1779-1861) adalah seorang ahli hukum Jerman yang diakui sebagai salah satu Bapak hukum Jerman. Ia merupakan tokoh mazhab sejarah yang ia kembangkan pada paruh pertama abad ke-19
[10] Filsafat Timur: Kebimbangan sering kali dianggap sebagai cerminan dari ketidakpastian realitas dan ketidakstabilan diri. Jalan menuju pencerahan melibatkan pelepasan dari keraguan dan keterikatan pada ilusi, dengan fokus pada penerimaan terhadap ketidakpastian. Humanisme: Aliran ini menempatkan manusia sebagai pusat filsafat dan mengakui kebimbangan sebagai bagian dari upaya manusia dalam memahami diri dan perannya di dunia. Kebahagiaan sejati, dalam pandangan ini, adalah hasil dari kesadaran diri dan pemahaman akan tujuan hidup
[11] istilah in dubio pro natura pertama kali digunakan oleh akademisi hukum asal Brasil, Luiz Fernando Coelho, pada tahun 1994. Ia memperkenalkan istilah ini pada konferensi II Encontro Magistratura e Meio Ambiente
[12] Salah satu prinsip dari 27 prinsip yang dilahirkan dari hasil Konferensi Rio 1992, dalam PERMA 1 tahun 2023 pada pasal 47 menjadi pedoman yang wajib diperhatiakn oleh Hakim akan precautionary principle.
[13] Disampaikan pada tanggal 2 Oktober 2025 dalam paparan umum oleh Chief Justice Federal Court of Australia Debra Mortimer dengan didampingi oleh Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung, YM. I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H. dihadapan peserta dari pendidikan dan pelatihan sertifikasi hakim lingkungan MA secara luring dan hakim lingkungan di seluruh Indonesia yang bergabung secara daring. Dalam kesempatan diskusi tersebut YM. I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H. juga menyatakan sikap setuju dalam penerapan metode hot tubbing dalam pemeriksaan ahli pada perkara lingkungan hidup.