logo pengadilan negeri purwakarta website ramah difable

Tata Cara Pengajuan Restitusi Dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana

04Feb

Ditulis oleh adminpn

Tata Cara Pengajuan Restitusi Dan Kompensasi

Kepada Korban Tindak Pidana

(Catatan Singkat berdasarkan Perma No.1 Tahun 2022)  

Oleh : Isabela Samelina, S.H.

 

Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia baru-baru ini telah menerbitkan Perma No.1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Perma ini telah ditandatangani pada tanggal 25 Februari 2022 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H. dan resmi diundangkan pada tanggal 1 Maret 2022. Diterbitkannya Perma ini agar ada keseragaman dalam penerapannya dengan beberapa peraturan yang sudah ada sebelumnya, diantaranya : peraturan perundang-undangan yang mengatur restitusi dan kompensasi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Karban Tindak Pidana dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun  2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Karban.

Perkembangan sistem peradilan pidana tidak hanya berorientasi kepada kepentingan pelaku, tetapi juga berorientasi kepada perlindungan korban. Setiap korban tindak pidana tertentu selain mendapatkan hak atas perlindungan, juga berhak atas Restitusi dan Kompensasi.

 

RESTITUSI

Adapun yang dimaksud dengan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.

Menurut Pasal 2 Perma No.1 Tahun 2022, tindak pidana yang dapat dimohonkan Restitusi adalah : Tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat, Terorisme, Perdagangan orang, Diskriminasi ras dan etnis, Tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bentuk Restitusi yang diberikan kepada korban tindak pidana menurut Pasal 4 Perma No.1 Tahun 2022 itu dapat berupa :

  1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan;
  2. Ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
  3. Penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/atau kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.

Untuk mengajukan permohonan Restitusi harus memperhatikan persyaratan administratif permohonan yang diatur dalam Pasal 5 Perma No.1 Tahun 2022.dan Permohonan Restitusi harus dibuat tertulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani pemohon atau kuasanya dan diajukan ke Ketua/Kepala Pengadilan, baik secara langsung atau melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum. Jika korban adalah anak, permohonan diajukan oleh orang tua, keluarga, wali, ahli waris atau kuasanya, atau LPSK, dan dalam hal pemohon lebih dari satu orang, bisa dilakukan penggabungan permohonan.

Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan Restitusi adalah Pengadilan yang mengadili pelaku tindak pidana, yaitu : Pengadilan Negeri, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Mahkamah Syar’iyah.

Menurut Pasal 9 Perma No.1 Tahun 2022, permohonan Restitusi tidak menghapus hak korban, keluarga, ahli waris dan wali untuk mengajukan gugatan perdata, dalam  hal :

  1. Permohonan Restitusi ditolak karena terdakwa diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum; dan
  2. Permohonan Restitusi dikabulkan dan terdakwa dihukum, akan tetapi terdapat kerugian yang diderita Korban yang belum dimohonkan Restitusi kepada Pengadilan atau sudah dimohonkan namun tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan.

Ada dua cara korban tindak pidana dapat memperoleh Restitusi yakni : Pengajuan dan pemeriksaan permohonan Restitusi sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, serta pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Menurut Pasal 12 Perma No.1 Tahun 2022, Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 11 : Dapat diajukan oleh Pemohon kepada Pengadilan secara langsung atau melalui LPSK. Permohonan diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak Pemohon mengetahui putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam proses Pemeriksaan di Persidangan, menurut pasal 14 Perma No.1 Tahun 2022 ;

(1). Hakim yang ditunjuk menetapkan Hari sidang pertama paling lama 2 (dua) Hari sejak menerima penetapan penunjukan, disertai dengan perintah kepada Pemohon dan Termohon untuk mempersiapkan alat bukti.

(2). Hakim mengirimkan salinan permohonan kepada Kejaksaan Agung/Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri/Oditurat Militer setempat disertai panggilan untuk menghadiri sidang.

(3). Dalam hal ganti rugi akan dibayarkan oleh Pihak Ketiga, Pihak Ketiga tersebut wajib dihadirkan dalam sidang untuk dimintai persetujuannya.

(4). Panggilan sidang harus sudah diterima oleh Pemohon, Termohon, Jaksa Agung/Kejaksaan Tinggi/Negeri/Oditur Militer dan/ atau Pihak Ketiga dalam waktu paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum persidangan.

(5). Dalam hal Pemohon atau Termohon tidak hadir pada Hari sidang pertama dan tidak mengirimkan kuasanya yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, pemanggilan dilakukan 1 (satu) kali lagi.

(6). Dalam hal Pemohon tetap tidak hadir pada Hari sidang kedua, permohonan dinyatakan gugur.

(7). Dalam hal Termohon tetap tidak hadir pada Hari sidang kedua, pemeriksaan dilanjutkan tanpa hadirnya Termohon.

(8). Pemeriksaan persidangan meliputi :

  1. pembacaan permohonan Pemohon;
  2. pembacaan jawaban Termohon;
  3. pemeriksaan alat bukti; dan
  4. pembacaan penetapan.

(9). Pengadilan wajib memutus permohonan dalam bentuk penetapan paling lama 21 (dua puluh satu) Hari sejak sidang pertama.

(10). Ketentuan mengenai putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (12) dan ayat (13) berlaku secara mutatis mutandis terhadap permohonan yang diajukan setelah adanya putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.

(11). Upaya hukum terhadap penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) hanya dapat diajukan banding.

(12). Penetapan Pengadilan banding bersifat final dan mengikat.

 

KOMPENSASI

Adapun yang dimaksud dengan Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

Permohonan kompensasi dapat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus. Permohonan kompensasi wajib diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Yang berhak mendapatkan kompensasi menurut Pasal 16 Perma Nomor 1 Tahun 2022 adalah : Korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan Korban tindak pidana Terorisme. Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan kompensasi terhadap tindak pidana terorisme, adalah pengadilan sesuai tempat pelaku diadili, sedangkan Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan kompensasi terhadap tindak pidana pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM.

Korban tindak pidana pelanggaran HAM berat dan Tindak Pidana Terorisme, bila merujuk pada Pasal 17 Perma No.1 Tahun 2022 berhak memperoleh kompensasi berupa :

- Ganti kerugiaan atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan
- Ganti kerugiaan yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, termasuk luka atau kematian
- Penggantian biaya perawatan dan/atau pengobatan
- Kerugian materil dan imateril lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.

Bukan hanya itu, khusus bagi korban pelanggaran HAM berat, kompensasi dapat diberikan dalam bentuk non uang atau natura.

Pengajuan permohonan Kompensasi tidak seperti Restitusi yang dapat diajukan sebelum atau sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, Permohonan Kompensasi hanya diajukan sebelum ada putusan pengadilan. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan untuk :

- Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal dunia
- Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang terjadi di luar wilayah Indonesia.

Untuk permohonan Kompensasi perkara pidana tertentu, permohonan harus   dilengkapi dengan :

  1. surat keterangan dari penyidik yang menunjukkan pemohon sebagai Karban tindak pidana terorisme, dalam hal permohonan diajukan untuk tindak pidana terorisme;
  2. surat keterangan dari Komnas HAM yang menunjukkan Pemohon sebagai Karban atau Keluarga, orang tua, wali atau ahli waris Karban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dalam hal permohonan diajukan untuk tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
  3. surat keterangan dari Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah Karban berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat terjadinya tindak pidana terorisme, dalam hal permohonan diajukan untuk Warga Negara Indonesia Karban tindak pidana terorisme yang terjadi di luar wilayah Negara Republik Indonesia;

Dalam hal jumlah Pemohon lebih dari 1 (satu) orang, dapat dilakukan penggabungan permohonan. Permohonan Kompensasi hanya dapat diajukan pada pengadilan tingkat pertama.

Permohonan kompensasi terhadap tindak pidana terorisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal, harus diajukan paling singkat / minimal 1 tahun sejak peristiwa terjadi, berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Perma No.1 Tahun 2022;

Dalam proses Pemeriksaan Persidangan, menurut Pasal 25 ayat (6) Perma No.1 Tahun 2022, meliputi : a. pembacaan permohonan Kompensasi oleh LPSK; b. pemeriksaan alat bukti; dan c. pembacaan putusan.

dan dalam putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (6) huruf c tersebut wajib memuat amar :

  1. menolak atau menerima permohonan Kompensasi;
  2. menenma atau menolak, baik sebagian atau seluruhnya permohonan Kompensasi;
  3. besaran Kompensasi yang harus dibayarkan LPSK.

Menurut Pasal 25 ayat (8) Perma No.1 Tahun 2022 Pengadilan wajib memutus permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) Hari sejak pembacaan permohonan. Dan terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) hanya dapat diajukan upaya hukum banding. Putusan Pengadilan banding bersifat final dan mengikat. 

Demikianlah tulisan singkat tentang tata cara pengajuan Restitusi dan Kompensasi kepada korban tindak pidana berdasarkan Perma No.1 tahun 2022, semoga dapat memberikan manfaat atau setidak-tidaknya pembaca dapat memperoleh gambaran secara umum tentang tata cara pengajuan Restitusi dan Kompensasi;