logo pengadilan negeri purwakarta website ramah difable

Eksistensi Bukti Elektronik Dalam Pemeriksaan Perkara Di Persidangan

07Jun

Ditulis oleh adminpn

EKSISTENSI BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMERIKSAAN PERKARA DI PERSIDANGAN

Oleh : Darma Indo Damanik, S.H., M.Kn.,

Wakil Ketua Pengadilan Negeri Purwakarta

 

Seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi yang sangat pesat, dimana pada saat ini sebagian besar kehidupan manusia telah memanfaatkan alat komunikasi seperti halnya komputer, telepon genggam atau smart phone, email, internet, media sosial, dll., untuk mendukung aktivitas atau kegiatannya sehari-hari. Keadaan ini menyebabkan adanya kemungkinan besar di dalam hubungan masyarakat terjadi suatu peristiwa hukum baik peristiwa hukum pidana maupun peristiwa hukum perdata yang memerlukan suatu bukti elektronik untuk dapat membuktikan terjadinya suatu peristiwa hukum tersebut .

Dari beberapa definisi yang terdapat didalam literatur, secara umum pengertian “bukti elektronik” dapat disimpulkan yakni berupa data yang tersimpan dan/atau ditransmisikan melalui sebuah perangkat elektronik, jaringan, atau sistem komunikasi, yang dibutuhkan untuk membuktikan sebuah fakta peristiwa yang terjadi;

Sebelum berlakunya Undang-Undang ITE masih terdapat perbedaan pandangan aparat Penegak Hukum terhadap eksistensi Bukti Elektronik terutama Hakim dalam pemeriksaan dipersidangan, dimana ada sebagian yang mengakui keberadaan bukti elektronik, disisi lain ada juga Hakim yang tidak mengakui keberadaan Bukti Elektronik. walaupun sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan bukti elektronik itu sendiri seperti halnya sebagaimana yang diatur didalam UU Tipikor, UU Lingkungan Hidup, UU KPK, dsb. Hal ini disebabkan oleh karena didalam KUHAP sebagai hukum acara pidana yang bersifat umum tidak mengakui bukti elektronik sebagai salah satu jenis alat bukti yang sah, begitu pula didalam hukum acara perdata belum ada mengatur tentang bukti elektronik tersebut;

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal dengan UU ITE, eksistensi atau keberadaan mengenai Bukti Elektronik semakin diakui didalam praktek beracara dipersidangan. Hal tersebut dikarenakan telah secara jelas diatur didalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang  ITE yang menyebut bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” dan selanjutnya didalam ayat (2) disebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;

Didalam ketentuan ayat (2) tersebut telah lebih tegas dinyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan alat bukti yang sah bukan saja terhadap Hukum Acara Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP akan tetapi berlaku juga terhadap Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur didalam Pasal 164 HIR/284 RBg;

Selanjutnya didalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 disebutkan “Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistim Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem Elektronik;

Dengan demikian tidak ada keraguan mengenai eksistensi bukti elektronik, oleh karena sudah secara tegas diakui didalam peraturan perundang-undangan mengenai keberadaannya sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum;

Yang menjadi permasalahannya saat ini adalah bagaimana penanganan bukti elektronik yang diajukan dipersidangan atau bagaimana tahapan-tahapan dilakukan oleh Hakim dalam memeriksa dan menilai suatu bukti elektronik sehingga bukti elektronik yang diajukan tersebut dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah?

Pertanyaaan tersebut timbul dikarenakan hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur tentang tahapan-tahapan yang dilakukan Hakim/Majelis Hakim dalam menilai suatu bukti elekronik agar dapat dijadikan alat bukti yang diterima sebagai alat bukti yang sah, mengingat karakteristik bukti elektronik yang bersifat volatility (mudah berubah, hilang atau rusak) sehingga didalam penanganannya harus benar-benar menjadi perhatian agar bukti elektronik tersebut tidak berubah atau bahkan menjadi hilang ketika diajukan ke persidangan yang menyebabkan bukti elektronik tersebut menjadi tidak sah;

Menurut penulis hal yang mendasar dalam penilaian bukti elektronik dipersidangan adalah mengenai keabsahan alat bukti elektronik itu sendiri, dimana ketika bukti elektronik tersebut diajukan kepersidangan oleh penuntut umum dalam perkara pidana atau diajukan oleh para pihak dalam perkara perdata tidak serta merta Hakim langsung menerima keabsahan bukti elektronik tersebut, akan tetapi terlebih dahulu Hakim harus menilai otenfikasi dan intergritas bukti elektronik tersebut;

Hakim dalam menilai otentifikasi bukti elektronik maksudnya adalah hakim harus melakukan penilaian terhadap bukti elektronik tersebut adalah asli dan tidak dimanipulasi yang dapat menunjukkan data yang disajikan berupa dokumen atau informasi elektronik adalah data yang asli,

Sedangkan yang dimaksud Hakim dalam menilai integritas bukti elektronik maksudnya hakim harus melakukan penilaian bahwa kondisi bukti elektronik tersebut sama ketika dihadirkan dipersidangan dengan pada saat bukti elektronik tersebut ditemukan (terjaga integritasnya);

Urgensi otentifikasi bukti elektronik dipersidangan adalah untuk menilai apakah bukti elektronik tersebut dapat diterima dipersidangan sebagai alat bukti yang sah sehingga dapat meyakinkan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Untuk itu didalam proses persidangan ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan Hakim dalam hal menilai otentifikasi bukti elektronik, antara lain :

  1. Admissable, yaitu diperkenankan atau diakui oleh UU untuk dipakai sebagai alat bukti atau dengan kata lain harus ada pengaturan yang tegas terhadap bukti elektronik yang dijadikan sebagai alat bukti dipersidangan;
  2. Reliable, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya;
  3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta;
  4. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang dibuktikan;

            Selanjutnya, selain beberapa kriteria tersebut diatas, secara umum terdapat empat prinsip yang mendasari seluruh rangkaian kegiatan dalam menangani bukti elektronik agar bukti tersebut dapat menjadi sah untuk disajikan ke pengadilan, yaitu :

  1. Prinsip menjaga integritas data, data yang ditemukan harus dijaga keasliannya dengan cara tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan data yang tersimpan didalamnya menjadi berubah atau rusak;
  2. Prinsip personel yang kompeten, personel yang menangani bukti elektronik harus berkompeten, terlatih dan mampu memberikan penjelasan atas setiap keputusan yang dibuat dalam proses identifikasi, pengamanan dan pengumpulan bukti elektronik;
  3. Prinsip Audit Trail, atau istilah teknis yang dikenal sebagai Chain of Custody (CoC) harus dipelihara dengan cara mencatat setiap tindakan yang dilakukan terhadap bukti elektronik.
  4. Prinsip Kepatuhan Hukum, personel yang bertanggung jawab terhadap penanganan kasus terkait pengumpulan, akuisisi dan pemeriksaan serta analisis bukti elektronik tersebut harus dapat memastikan bahwa proses yang berlangsung sesuai dengan hukum yang berlaku;

            Walaupun hingga saat ini belum ada peraturan yang mengatur tentang bagaimana penanganan bukti elektronik yang dilakukan oleh Hakim ketika bukti elektronik tersebut diajukan ke persidangan, akan tetapi Hakim sebagai pejabat peradilan yang berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara di sidang pengadilan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses menilai dan berwenang mengevaluasi secara adil terhadap bukti yang diajukan kepersidangan untuk dapat mengungkap kebenaran suatu fakta dalam suatu peristiwa hukum;

            Harapan penulis agar Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Mahmakah Agung yang mengatur tentang penanganan bukti elektronik dipersidangan baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana agar dapat menjadi pedoman bagi para Hakim dalam menilai suatu bukti elektronik yang diajukan kepersidangan;

            Demikianlah tulisan singkat tentang eksistensi bukti elektronik dalam pemeriksaan perkara dipersidangan semoga dapat memberikan manfaat atau setidak-tidaknya pembaca dapat memperoleh gambaran secara umum tentang eksistensi bukti elektonik;

Purwakarta 7 Juni 2022